Sejak
menjabat gubernur, Amr bin Ash tidak lagi pergi ke medan tempur. Dia
lebih sering tinggal di istana. Di depan istananya yang mewah itu ada
sebidang tanah yang luas dan sebuah gubuk reyot milik seorang Yahudi
tua.
“Alangkah indahnya bila di atas tanah itu berdiri sebuah mesjid,” gumam sang gubernur.
Singkat kata, Yahudi tua itu pun dipanggil menghadap sang gubernur
untuk bernegosiasi. Amr bin Ash sangat kesal karena si kakek itu menolak
untuk menjual tanah dan gubuknya meskipun telah ditawar lima belas kali
lipat dari harga pasaran.
“Baiklah bila itu keputusanmu. Saya harap Anda tidak menyesal!” ancam sang gubernur.
Sepeninggal Yahudi tua itu, Amr bin Ash memerintahkan bawahannya
untuk menyiapkan surat pembongkaran. Sementara si kakek tidak bisa
berbuat apa-apa selain menangis. Dalam keputusannya terbetiklah niat
untuk mengadukan kesewenang- wenangan gubernur Mesir itu pada Khalifah
Umar bin Khattab.
“Ada perlu apa kakek, jauh-jauh dari Mesir datang ke sini?” tanya
Umar bin Khattab. Setelah mengatur detak jantungnya karena berhadapan
dengan seorang khalifah yang tinggi besar dan full wibawa, si kakek itu
mengadukan kasusnya. Padahal penampilan khalifah Umar amat sederhana
untuk ukuran pemimpin yang memiliki kekuasaan begitu luas. Dia ceritakan
pula bagaimana perjuangannya untuk memiliki rumah itu.
Merah padam wajah Umar begitu mendengar penuturan orang tua itu.
“Masya Allah, kurang ajar sekali Amr!” kecam Umar.
“Sungguh Tuan, saya tidak mengada-ada,” si kakek itu semakin gemetar
dan kebingungan. Dan ia semakin bingung ketika Umar memintanya mengambil
sepotong tulang, lalu menggores tulang itu dengan pedangnya.
“Berikan tulang ini pada gubernurku, saudara Amr bin Ash di Mesir,” kata sang Khalifah, Al Faruq, Umar bin Khattab.
Si Yahudi itu semakin kebingungan, “Tuan, apakah Tuan tidak sedang mempermainkan saya!” ujar Yahudi itu pelan.
Dia cemas dan mulai berpikir yang tidak-tidak.Jangan-jangan khalifah
dan gubernur setali tiga uang, pikirnya. Di manapun, mereka yang
mayoritas dan memegang kendali pasti akan menindas kelompok minoritas,
begitu pikir si kakek. Bisa jadi dirinya malah akan ditangkap dan
dituduh subversif.
Yahudi itu semakin tidak mengerti ketika bertemu kembali dengan
Gubernur Amr bin Ash. “Bongkar masjid itu!” teriak Amr bin Ash gemetar.
Wajahnya pucat dilanda ketakutan yang amat sangat. Yahudi itu berlari
keluar menuju gubuk reyotnya untuk membuktikan sesungguhan perintah
gubernur. Benar saja, sejumlah orang sudah bersiap-siap menghancurkan
masjid megah yang sudah hampir jadi itu.
“Tunggu!” teriak sang kakek. “Maaf, Tuan Gubernur, tolong jelaskan
perkara pelik ini. Berasal dari apakah tulang itu? Apa keistimewaan
tulang itu sampai-sampai Tuan berani memutuskan untuk membongkar begitu
saja bangunan yang amat mahal ini. Sungguh saya tidak mengerti!” Amr bin
Ash memegang pundak si kakek, “Wahai kakek, tulang itu hanyalah tulang
biasa, baunya pun busuk.”
“Tapi…..” sela si kakek.
“Karena berisi perintah khalifah, tulang itu menjadi sangat berarti.
Ketahuilah, tulang nan busuk itu adalah peringatan bahwa berapa pun
tingginya kekuasaan seseorang, ia akan menjadi tulang yang busuk.
Sedangkah huruf alif yang digores, itu artinya kita harus adil baik ke
atas maupun ke bawah. Lurus seperti huruf alif. Dan bila saya tidak
mampu menegakkan keadilan, khalifah tidak segan-segan memenggal kepala
saya!” jelas sang gubernur.
“Sungguh agung ajaran agama Tuan. Sungguh, saya rela menyerahkan
tanah dan gubuk itu. Dan bimbinglah saya dalam memahami ajaran Islam!”
tutur si kakek itu dengan mata berkaca-kaca.
Artikel Terkait:
Sebarkan Artikel ini :
0komentar:
Posting Komentar
thank to visit